Adil Purnama

April 22, 2016

Pemilu dan HAM dalam Hukum Tata Negara

Pemilu dan HAM dalam HTN

Pengertian Pemilu (Pemilihan Umum) menjadi bagian tak terpisahkan dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi. Setiap negara-negara yang menganut sistem demokrasi senantiasa akan menyelenggarakan Pemilu. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat, dan kratei yang artinya kekuasaan. Pemilu dalam hal ini merupakan salah satu bagian dari sistem pemerintahan demokrasi.
Di setiap negara, tata cara pelaksanaan Pemilihan Umum berbeda-beda. Hal tersebut disesuaikan dengan keadaan dan kondisi negara bersangkutan. Namun demikian prinsip dari Pemilu tersebut kurang lebih sama, yakni pelaksanaan dari sistem demokrasi. Di negara Indonesia Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Ketentuan-ketentuannya diatur dalam UUD 1945 hasil amendemen, pasal 22 E, juga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu.
a.       Tujuan Pemilu
Tujuan Pemilu adalah untuk memilih para wakil yang duduk dalam pemerintahan atau DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pemilu juga bertujuan memilih Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
b.      Jenis-jenis Pemilu
Sebagaimana ketentuan UUD 1945 hasil amendemen, ada dua jenis Pemilu. Dua jenis yang dimaksud meliputi :
1.      Pemilu Legislatif, yakni untuk memilih para wakil rakyat (DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan kabupaten / kota).
2.      Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, untuk memilih presiden dan wakil presiden.
c.       Asas Pelaksanaan Pemilu
Dalam asas pelaksanaannya, Pemilu dilakukan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penjelasan dari asas pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Langsung artinya para warga negara yang telah memiliki hak pilih harus memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
2.      Umum artinya semua warga negara yang memenuhi persyaratan yang sesuai, berhak mengikuti Pemilu. Selain itu, umum juga memiliki pengertian memberi jaminan (kesempatan) secara menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, daerah, pekerjaan, maupun status sosial.
3.      Bebas berarti setiap warga negara yang telah mempunyai hak pilih, bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan.
4.      Rahasia artinya dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin kerahasiaannya, tidak ada pihak lain yang mengetahui.
5.      Jujur berarti semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu (aparat, pemerintah, pasangan calon (presiden dan wakil presiden) partai politik, tim kampanye, para pengawas, pemantau, dan lain-lain) harus bertindak jujur sesuai peraturan.
6.      Adil artinya dalam penyelenggaraannya Pemilu harus terhindar dari berbagai bentuk kecurangan.

A.    Penyelenggaraan Pemilu
Sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 22 E, penyelenggara Pemilu adalah sebuah organisasi mandiri yang bernama KPU (Komisi Pemilihan Umum). Susunan keorganisasian KPU tersebut adalah sebagai berikut :
1.      KPU Pusat, beranggota 11 orang.
2.      KPU Provinsi, beranggota 5 orang.
3.      KPU Kabupaten/Kota, beranggota 5 orang.
Dalam melaksanakan tugasnya, KPU Kabupaten/Kota membentuk:
a.       PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan)
b.      PPS (Panitia Pemungutan Suara)
c.       KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)

    B.     Tugas dan wewenang KPU adalah :
Merencanakan penyelenggaraan Pemilu;
a.       Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
b.      Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan
c.       Menetapkan peserta Pemilu;
d.      Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
e.       Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
f.       Menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
g.      Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.


C.   Kewajiban KPU
a.       Memperlakukan Pemilu secara adil dan serta guna menyukseskan Pemilu;
b.      Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c.       Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d.      Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat
e.       Melaporkan penyelenggaraan, Pemilu kepada Presiden selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPR;
f.       Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
g.      Melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
                            
  
1.      Tahapan-tahapan Pelaksanaan Pemilu
Ada beberapa tahapan dalam proses pelaksanaan Pemilu. Tahapan-tahapan yang dimaksud dalam proses pelaksanaan tersebut meliputi :
a.       Pendaftaran Pemilih
Untuk dapat ikut memberikan suara, para calon pemilih Pemilu harus terdaftar. Waktu pendaftaran paling lambat, enam bulan sebelum pelaksanaan Pemilu.
b.      Kampanye
Menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu, kampanye dilakukan selama 3 minggu dan berakhir 3 hari sebelum hari pemungutan suara. Kampanye merupakan ajakan dari para peserta Pemilu. Kampanye dilakukan untuk meyakinkan para (calon) pemilih serta untuk menjelaskan kepada para (calon) pemilih tentang program, visi, serta misi.
c.       Pemungutan Suara
Pemungutan suara merupakan inti dari penyelenggaraan Pemilu. Dalam kegiatan ini para pemilih memberikan suaranya melalui kartu suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang sudah disediakan.
d.      Penghitungan SuaraSetelah pemungutan suara selesai, proses berikutnya adalah penghitungan suara. Penghitungan suara dilakukan oleh tiap TPS secara terbuka dihadapan saksi dan masyarakat.
e.       Penetapan dan Pemungutan Hasil Pemilu
Penetapan atau pengumuman hasil Pemilu dilakukan secara nasional oleh KPU. Batas waktu dari penetapan atau pengumuman tersebut selambat-lambatnya 30 hari setelah pemungutan suara.


HAM dalam HTN

A.    Pengertian Hak Asasi Manusia
Istilah Hak Asasi Manusia pertama kali muncul sebagai hasil dari Revolusi Perancis tahun 1789, yang membebaskan warga negara Perancis dari kekuasaan raja sebagai penguasa tunggal. Istilah yang digunakan adalah Droit de I’homme yang berarti hak manusia.
Definisi HAM (hak asasi manusia) menurut para ahli :
a.       Menurut John Locke :
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b.      Menurut Meriam Budiardjo :
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat.
c.       Menurut Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

B.     Jenis-Jenis HAM
Dewasa ini hak asasi manusia meliputi berbagai bidang kehidupan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Hak Asasi Pribadi (personal rights) adalah hak: Kemerdekaan memeluk agama, Beribadat menurut agama masing-masing, Menyatakan pendapat dan Kebebasan berorganisasi atau berserikat
2.      Hak Asasi Ekonomi (poperty rights) adalah hak dan kebebasan: Memiliki sesuatu, Membeli dan menjual sesuatu dan Mengadakan perjanjian atau kontrak
3.      Hak Persamaan Hukum (rights of legal equality) adalah hak mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama dalam: Keadilan hukum dan Pemerintahan
4.      Hak Asasi Politik (political rights) adalah hak diakui dalam kedudukan sebagai warga negara yang sederajat dalam pemerintahan yang meliputi hak: Memilih dan dipilih, Mendirikan partai politik atau organisasi dan Mengajukan petisi, kritik, atau saran
5.      Hak Asasi Sosial dan Kebudayaan (social and cultural rights) adalah hak: Mendapat pendidikan dan pengajaran, Hak memilih pendidikan dan Hak mengembangkan kebudayaan
6.      Hak asasi perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum (procedural rights) misalnya hak mendapatkan perlakuan yang wajar dan adil dalam: Penggeladahan, Razia, Penangkapan, Peradilan dan Pembelaan hukum

C.     Perkembangan HAM di Indonesia.
1.      Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
a.         Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
b.         Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
c.         Sarekat Islam, menekankan pada usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
d.        Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi.
e.         Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
f.          Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.

2.      Periode Setelah Kemerdekaan (1945-sekarang)

a.         Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara (konstitusi) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik, yang tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.

 b.         Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

c.         Periode 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.

d.        Periode 1966-1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga negara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan.

e.         Periode 1998-Sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrument Internasional dalam bidang HAM.

D.    Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Prinsip-prinsip pelaksanaan HAM di Indonesia yaitu keseimbangan antara hak dalam kewajiban, relative, keterpaduan, keseimbangan, kerjasama internasional yang saling menghormati, taat pada peraturan, keterkaitan sistem politik, kesamaan antara harkat dan martabat, hak memperoleh perlakuan yang sama, dan semua adalah tanggung jawab pemerintah.
Di  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya bangsa Indonesia menjalin kerja sama dengan bangsa yang lain supaya terciptanya hubungan yang baik antar bangsa, serta menegakkan hukum internasional yang berlaku dan disepakati bersama dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nasional.
Hak asasi manusia dimiliki sejak manusia ada di muka bumi, seperti hak-hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia dilahirkan dan merupakan hak kodrat yang melekat pada diri manusia. Pada dasarnya penegakan HAM berlangsung dalam kurun waktu yang lama selaras dengan perjuangan mencari kesejahteraan hidup.

Hambatan dan Upaya-Upaya Penegakan Ham di Indonesia
1.      Hambatan HAM dalam penegakan hukum.
a.       Budaya paternalistik.
Budaya ini masih sebagian besar melekat pada  masyarakat indonesia. Contoh:
Penduduk masayarakat pedesaan yang patuh terhadap sosok pemimpin suku. Walaupun pernyataannya tidak sesuai dengan HAM, namun karena diucapkan oleh pemimpin karismatik, lalu dianggap benar.
b.      Kesadaran hukum yang rendah.
Kesadaran hukum yang rendah juga sangat mempengaruhi, hal ini mengakibatkan keengganan masyarakat untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran HAM. Di sebabkan karena mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain.
c.       Budaya loyalitas.
Budaya ini menyangkut tentang suatu sikap kesetiaan/ loyalitas yang konotasinya sangat lah negatif, Yakni kepatuhan yang berlebihan.
d.      Kesenjangan antara teori dan praktik hukum.
Walaupun teori hukum yang kita miliki belum sempurna, namun seharusnya sudah bisa diminimalkan. Tetapi dalam praktik belum tentu terlihat aturan-aturan yang baik.
2.      Upaya penegakan / peningkatan  perlindungan HAM.

a.    Kebijakan, yaitu menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan rasa terpadu, kepastian hukum dan penghormatan HAM.
b.    Strategi, yaitu secara bertahap memperbaharui / membuat produk hukum nasional yang tidak bertentangan dengan prinsip penghormatan dan perlindungan.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam menerapkan penegakan dan perlindungan HAM dengan cara:
a.       Sosialisasi HAM dan hukum.
b.      Menyebarluaskan brosur-brosur tentang HAM.
c.       Meningkatkan pengawasan terhadap HAM, melalui media-media cetak / elektronik, ormas / LSM.

d.      Melaksanakan peradilan HAM secara transparan.

Hukum Acara Perdata

HUKUM ACARA PERDATA

Pengertian Pokok Hukum Acara.
Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat.
Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil.
Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).
HIR ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 no 44
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan - peraturan tersebut; dan cara - cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)
Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis. BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.
Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).
Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)
Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.

Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb :
1.    Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2.    Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3.    Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
4.    Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum
5.    Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.

Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
1.    Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2.    Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan KUHAPer
3.    Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.

Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR).

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1.    Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.
2.    Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)
3.    Hakim bersifat aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
4.    Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)
5.    Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.
6.    Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa

7.    Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.
8.    Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9.    Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.

PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA PIDANA

1.      Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari negara.(Jaksa Penuntut)
2.      Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3.      Dalam acara pidana hakim bertindak memimpinsedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja.
4.      Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara pidana.